Dewasa ini
lembaga keuangan berlabel syari’at berkembang dalam skala besar dengan
menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-istilah
berbahasa Arab. Banyak masyarakat yang masih bingung dengan
istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut
adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syari’at ataukah hanya rekayasa
semata.
Dalam
fikih muamalah dikenal istilah murabahah. Yang
dimaksud murabahah adalah penjual memberitahukan harga barang pada si pembeli
dan ia mengambil untung dari penjualan barang tersebut. Jual beli ini
dipraktekkan di beberapa bank syariah atau BPR saat ini.Bagaimana murabahah
yang semestinya?
Nama lain Jual Beli Murabahah ini
Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syari’at ini
dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:
1. al-Murabahah lil Aamir
bi Asy-Syira’
2. al-Murabahah lil Wa’id
bi Asy-Syira’
3. Bai’ al-Muwa’adah
4. al-Murabahah
al-Mashrafiyah
5. al-Muwaa’adah ‘Ala
al-Murabahah. [2]
Sedangkan di negara Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah
atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP) [3]
Definisi Jual-Beli Murabahah (Deferred Payment Sale)
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari
kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan
(keuntungan).Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli
dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui.Deskripsinya adalah sebagai berikut:
Ruslan
menjual mobil pada Ahmad. Dan ia memberitahukan harga belinya pada Ahmad 100
juta. Karena jasa Ruslan untuk membeli terlebih dahulu dan berani memberikan
pada Ahmad secara cicilan, maka ia menjual mobil tersebut sebesar 120 juta.
Artinya, Ruslan mendapat untung sebesar 20 juta dan Ahmad mengetahui hal ini.
Ada
istilah lain yang mirip murabahah. Kalau contoh di atas ditarik keuntungan. Ada
jual beli yang sudah dikabarkan harga pembelian pada si pembeli sama dengan
murabahah, namun si penjual tidak mengambil untung, harga pembelian sama dengan
harga penjualan. Ini dikenal dengan jual beli tawliyah.Ada
juga bentuk yang malah si penjual rugi.Ia memberitahukan harga sebenarnya pada
si pembeli, namun ia menetapkan harga lebih rendah karena boleh jadi barangnya
sudah lama. Jual beli kedua ini dikenal dengan jual beli
wadhi’ah atau mukhasaroh. Jadi ada
tiga jual beli yang sifatnya amanah: (1) murabahah(kenal
untung), (2) tawliyah (kenal imbas), dan
(3) wadhi’ah (kenal rugi).
Adapun
mengenai hukum jual beli murabahah, asalnya
dibolehkan. Dalil akan hal ini adalah keumuman firman Allah Ta’alayang menjelaskan halalnya jual beli. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ
“Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli” (QS. Al Baqarah: 275).
إِلَّا تَكُونَ تِجَارَةً عَن
تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Kecuali dengan jalan perniagaan
yang saling ridho di antara kamu” (QS.An Nisa’: 29).
Murabahah termasuk jual beli saling
ridho di antara penjual dan pembeli, sehingga termasuk jual beli yang
dibolehkan.
Melalui
Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah, Dewan Syariah
Nasional telah memberikan ijin operasional sesuai syariah terhadap produk
pembiayaan murabahah.mengatur sebagai berikut:
1. Secara prinsip, penyelesaian
utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain
yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika
nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia
tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
2. Jika nasabah menjual barang
tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh
angsurannya.
3. Jika
penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus
menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat
pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.
Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia No.
7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah).
Begitu
pula secara logika, jual beli ini amat dibutuhkan dan telah tersebar luas.Di
antara kita ada orang yang tidak tahu manakah barang yang berkualitas untuk
dibeli, sehingga kita butuh informasi dari orang yang lebih mengetahui
seluk-beluk barang di pasar.Sebagai balas budi, si pembeli memberikan balas
jasa pada si penjual yang telah membeli barang tersebut dengan memberikan
keuntungan.Sehingga jual beli murabahah dengan
logika sederhana ini dibolehkan.
Memerintah
untuk Membelikan Barang
Ilustrasi
jual beli ini hampir mirip dengan jual beli murabahah atau ia termasuk dalam
jual beli murabahah. Jual beli ini dikenal dengan jual beli al aamir bisy syiro’. Ulama Syafi’iyah menjelaskan jual
beli ini, “Si A melihat ada suatu barang yang membuat ia tertarik. Ia lalu
berkata pada si B, “Tolong belikan barang ini dan engkau boleh mengambil untung
dariku jika aku membelinya.” Lalu si A membeli barang tersebut dari si B. Jual
beli dengan bentuk seperti ini boleh dengan keuntungan sesuai yang diinginkan.
Namun
catatan yang perlu diperhatikan: Jual beli al aamir bisy syiro’ tidaklah
bersifat mengikat. Jika si A memutuskan ingin membeli dari si B, maka
terjadilah jual beli. Jika si A tidak mau setelah menimbang-nimbang atau
melihat kualitas barang yang dibeli si B tidak sesuai keinginan, maka ia boleh
membatalkannya.
Realita
Murabahah yang Terjadi
Realita yang terjadi di lapangan
tidaklah sesuai dengan murabahah yang dijelaskan dalam fikih Islam.Praktek
murabahah yang dilakukan pihak bank atau lembaga perkreditan rakyat yang
mengatasnamakan syari’ah jauh dari yang semestinya.
Lihatlah contoh yang dijelaskan oleh
para ulama di atas, seperti dalam contoh terakhir, si B benar-benar telah
memiliki barang yang ingin dijual pada si A. Namun realita yang terjadi di bank
tidaklah demikian. Coba lihat ilustrasi murabahah yang dipraktekkan pihak bank:
1. Calon pembeli datang ke bank, dia
berkata kepada pihak bank, "Saya bermaksud membeli mobil X yang dijual di
dealer A dengan harga Rp. 100 juta. Pihak bank lalu menulis akad jual beli
mobil tersebut dengan pemohon, dengan mengatakan, "Kami jual mobil
tersebut kepada Anda dengan harga Rp. 120 juta, dengan tempo 3 tahun."
Selanjutnya bank menyerahkan uang Rp. 100 juta kepada pemohon dan berkata,
"Silakan datang ke dealer A dan beli mobil tersebut."
Realita yang terjadi ini bukanlah
murabahah.Kenyataannya adalah pihak bank meminjamkan uang pada si pemohon
sebesar 100 juta untuk membeli mobil di dealer.Lalu si pemohon mencicil hingga
120 juta. Seandainya transaksi dengan pihak bank adalah jual beli, maka mobil
tersebut harus ada di kantor bank. Karena syarat jual beli, si penjual harus
memegang barang tersebut secara sempurna sebelum dijual pada pihak lain. Simak
hadits berikut.
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ
يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa yang membeli bahan
makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.”Ibnu
‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan
bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)
Ibnu
‘Umar berkata,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ
يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى
مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami dahulu di zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan.Lalu seseorang diutus pada
kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang
sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.”
(HR. Muslim no. 1527)
Mobil
tersebut belum berpindah dari dealer ke kantor bank. Itu sama saja bank menjual
barang yang belum ia miliki atau belum diserah terimakan secara sempurna. Dan
realitanya maksud bank adalah meminjamkan uang 100 juta dan dikembalikan 120
juta.Kenyataan ini adalah riba karena para ulama sepakat, “Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba.”
2. Sama dengan ilustrasi pertama,
hanya saja pihak bank menelpon showroom dan berkata "Kami membeli mobil X
dari Anda." Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu pihak
bank berkata kepada pemohon: "Silakan Anda datang ke showroom tersebut dan
ambil mobilnya."
Ilustrasi kedua pun sama, bank juga
menjual barang yang belum diserahterimakan secara sempurna. Ini termasuk
pelanggaran dalam jual beli seperti yang diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas
dan Ibnu ‘Umar di atas.
3. Seorang pemohon datang ke bank
dan dia butuh sebuah barang, maka pihak bank mengatakan, "Kami akan
mengusahakan barang tersebut." Bisa jadi sudah ada kesepakatan tentang
keuntungan bagi pihak bank, mungkin pula belum terjadi.Lalu pihak bank datang
ke toko dan membeli barang selanjutnya dibawa ke halaman bank, kemudian
terjadilah transaksi antara pemohon dan pihak bank.
Pada akad di atas, pihak bank telah
memiliki barang tersebut dan tidak dijual kecuali setelah dipindahkan dan dia
terima barang tersebut.
Hukumnya
·
Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum kepemilikan
penjual barang tersebut masuk dalam larangan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjual
barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut pada hakekatnya adalah akad
dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan maka ini adalah akad batil yang
dilarang, karena lembaga keuangan ketika itu menjual kepada nasabah sesuatu
yang belum dimilikinya.
·
Muamalah seperti ini termasuk al-Hielah (rekayasa) atas hutang dengan bunga,
karena hakekat transaksi adalah jual uang dengan uang lebih besar darinya
secara tempu dengan adanya barang penghalal diantara keduanya.
·
Murabahah jenis ini masuk dalam larangan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam
hadits yang berbunyi:
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي
بَيْعَةٍ
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual beli (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa’
al-Gholil 5/149)
Al-Muwaa’adah apabila mengikat kedua belah pihak maka menjadi aqad (transaksi)
setelah sebelumnya hanya janji, sehingga ada disana dua akad dalam satu jual
beli.
Ketentuan diperbolehkannya
Syeikh Bakar bin
Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli murabahah ini
dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa’adah diperbolehkan
dengan tiga hal:
1. Tidak terdapat
kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan ataupun
lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.
2. Tidak ada kewajiban
menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua belah pihak
baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung jawab
lembaga keuangan.
3. Tidak terjadi
transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga
keuangan dan sudah menjadi miliknya.
Mu’amalah jual beli
murabahah melalui beberapa langkah tahapan, diantara yang terpenting adalah:
·
Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.
a. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkandengan
a. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkandengan
sifat-sifat
yang jelas.
b. Penentuan
pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu dalam
pembelian barang tersebut.
·
Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang
diajukan nasabah.
·
Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
·
Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.
a. Mengadakan
perjanjian yang mengikat.
b. Membayar
sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan
janji.
c. Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.
c. Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.
d. Lembaga
keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.
·
Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang.
·
Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
·
Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.
a. Penentuan
harga barang.
b. Penentuan
biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan
kedalamharga.
c. Penentuan
nisbat keuntungan (profit).
d. Penentuan
syarat-syarat pembayaran.
e. Penentuan
jaminan-jaminan yang dituntut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar